Minggu, 04 November 2012

peran keluarga dalam pembangunan bangsa indonesia


Peran Keluarga Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia

Pertentangan ideologi yang mewarnai peradaban manusia abad ke 20 pada intinya adalah berkutat pada bagaimana membuat suatu tatanan politik dunia yang dapat mendatangkan kesejahteraan manusia. Banyak pakar mengatakan setelah ambruknya sistem komunisme yang diawali oleh runtuhnya negara pelopor komunisme, Uni Soviet, persaingan antar ideologi telah berakhir, dan beralih kepada persaingan antar peradaban (Hutington).
Dalam iklim globalisasi, persaingan ekonomi antar negara adalah persaingan antar negara yang menerapkan sistem pasar bebas (free market), tetapi wacana yang berkembang adalah: sistem pasar bebas yang seperti apa? Michael Porter (1990) mengatakan bahwa faktor budaya, nilai-nilai berlaku, dan ciri khas watak masyarakat suatu negara sangat menentukan
keberhasilan pembangunan ekonominya. Banyak sekali pakar internasional yang mengatakan
bahwa kunci sukses keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh sejauh mana suatu negara mempunyai budaya yang kondusif untuk bisa maju (contohnya Franke, Hostede, dan Bond). Faktor budaya yang dicerminkan oleh karakter dan perilaku masyarakatnya, sering disebut “modal sosial” (social capital) kemajuan sebuah negara.
            Konsep “modal sosial” ini pertama kali diperkenalkan oleh Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtues, and the Creation of Prosperity,1995), yang menguraikan ciri  budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan dalam persaingan global. Dalam bukunya ini Fukuyama menekankan persaingan yang ada dewasa ini bukan persaingan antar sistem ideologi, tetapi persaingan antar negara bersistem pasar bebas yang mempunyai social capital (modal sosial) tinggi (high trust society), dan negara yang mempunyai modal sosial rendah (low trust society) yang tentunya akan kalah dalam persaingan. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta rendahnya tingkat konflik. Selanjutnya dikatakan bahwa ini bisa terwujud kalau masing-masing individu menjunjung tinggi kebersamaan, loyalitas, kejujuran, dan menjalankan kewajibannya.
Ciri khas karakter masyarakat yang menjadi faktor penentu keberhasilan suatu negara juga diulas oleh Lester Thurow dalam  Head To Head (1992) yang membandingkan sistem
kapitalisme Amerika dan Inggris, yang disebutnya individualistic capitalism, dengan sistem kapitalisme Jepang dan Jerman (communitarian capitalism). Thurow mengunggulkan sistem
communitarian capitalism karena ciri karakter manusianya adalah self-denial, yaitu hemat,
kerja keras, kebersamaan tinggi, dan loyalitas, yang dianggap kondusif untuk mempunyai daya saing.
Berbicara mengenai pentingnya faktor budaya yang mencerminkan karakter moral
masyarakatnya,  kita boleh bertanya, apakah bangsa Indonesia mempunyai ciri khas karakter
yang seperti diungkapkan di atas? Melihat kondisi Indonesia yang sedang mengalami krisis
multi-dimensi ini, banyak yang mengatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi Indonesia
adalah masalah moral. Apabila ini tidak kita perhatikan dan dicarikan solusinya secara cepat dan tepat, maka tampaknya sangat sulit bagi Indonesia untuk bangkit, terutama mengingat era pasar bebas yang sudah semakin dekat.
 Kalau kita berbicara masalah karakter bangsa, maka ini akan menyentuh aspek pendidikan dan sosialisasi individu sejak dilahirkan sampai dewasa. Institusi keluarga dan pranata sosial yang ada (sekolah, agama, budaya) menjadi hal yang penting untuk diperhatikan agar penanaman moral individu dapat terlaksana. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Lord Channing bahwa “The great hope of society is individual character” (Harapan besar masyarakat adalah kualitas akhlak setiap individu).
Salah satu teori dalam ilmu sosiologi tentang pentingnya institusi keluarga dalam menentukanmaju atau tidaknya sebuah bangsa, yaitu “family is the fundamental unit of society” (keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat). Artinya kalau institusi keluarga sebagai fondasi lemah, maka “bangunan” masyarakat juga akan lemah. Menurut teori tersebut, masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat seperti kemiskinan, kekerasan yang merajalela, dan segala macam kebobrokan sosial, adalah cerminan dari tidak kokohnya institusikeluarga.
Pembangunan karakter berkaitan dengan pembentukan kepribadian individu-individu sejak dini dari dalam keluarga, dan sekolah. Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penananam nilai kepada anak adalah sangat besar. Keluarga kokoh adalah keluarga yang dapat memciptakan generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat, dan akhirnya membawa kejayaan sebuah bangsa.

Peranan Perempuan Dalam Pembangunan Bangsa
Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa “wanita adalah tiang negara”. Hal ini mirip dengan teori sosiologi yang telah diungkapkan di muka mengenai “keluarga adalah fondasi masyarakat”. Artinya di sini peran wanita dalam keluarga sangat penting sekali. Karena proses pembentukan kepribadian seorang anak sudah dimulai sejak awal kehidupan, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Ada beberapa kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi seorang anak agar dapat berkepribadian baik, dan ini semua sangat tergantung pada peran perempuan sebagai ibu.
Pertama adalah kebutuhan akan “kelekatan psikologis” (maternal bonding). Salah satu kebutuhan terpenting anak yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya. Kelekatan psikologis ini penting untuk anak dapat membentuk kepercayaan kepada orang lain (trust), merasa diri diperhatikan, dan menumbuhkan rasa aman. Menurut Morris, hubungan yang erat dengan ibunya dalam tahun-tahun pertama kehidupan akan menanamkan kapasitas besar untuk dapat mengadakan hubungan yang baik dengan orang lain kelak ketika dewasa. Seorang ibu yang dapat menciptakan ikatan emosional yang erat, dapat membentuk kepribadian anak menjadi baik.
Ada beberapa studi yang menunjukkan pengaruh kegagalan pembentukan bonding terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak yang baik hubungan dengan ibunya ketika bayi, akan dekat pula dengan ayah dan anggota keluarga lainnya, dan selanjutnya anak akan berperilaku positif dan tidak agresif.
Kedua adalah kebutuhan rasa aman, dimana anak memerlukan lingkungan yang stabil dan aman. Lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi bayi. Begitu pula pengasuh yang berganti-ganti akan berpengaruh negatif pula. Bowlby mengatakan adalah normal bagi seorang bayi untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasaya ibu) pada tahap-tahap awal masa bayi.
Lingkungan yang tidak menyenangkan (penuh dengan stress) akan mempengaruhi kepribadian anak. Hubungan yang tidak bak antara pengasuh dan anak akan meningkatkan kebutuhan protein anak, dan cenderung menurunkan nafsu makan anak, sehingga asupan makanan menjadi lebih sedikit, padahal anak memerlukan makan yang lebih banyak ketika sedang stress. Sebaliknya lingkungan pengasuhan yang menyenangkan akan meningkatkan aktifitas sisetem organ-organ yang sedang berkembang, dan selanjutnya daya serap gizi akan lebih baik, sehingga proses tumbuh kembang bisa mejadi optimal.
Ketiga adalah kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental. Hal ini memerlukan perhatian yang besar dari orang tuanya dan reaksi timbal balik antara ibu dan anaknya. Pakar pendidikan anak mengatakan bahwa seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) di usia di bawah 6 bulan, akan mempengaruhi sikap bayinya menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplor lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Kebutuhan dasar anak seperti yang diungkapkan diatas hanya dapat dipenuhi oleh keluarga yang mempunyai nilai-nilai keluarga sakinah. Anak-anak yang berada dalam keluarga seperti ini mendapatkan perlindungan, kasih sayang, pendidikan moral dan disilin yang baik dari orang tuanya. Dan ini menuntut peran dan komitmen besar dari orang tuanya, terutama ibunya.
Komitmen orang tua dalam pengasuhan anak sangat diperlukan karena optimalisasi semua aspek tumbuh kembang individu pada tahun-tahun pertama kehidupannya sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan orangtua. Salah satu contoh yang bisa ditunjukkan adalah kaitan antara stimulasi yang diberikan orang tua dengan  perkembangan bahasa dan  perkembangan pemahaman dunia.   Demikian juga dengan perkembangan disiplin dan moral anak sehingga dapat membedakan konsep benar- salah, baik-buruk, sopan-tidak sopan, pantas-tidak pantas, etis-tidak etis, dsb, ditentukan  oleh sosialisasi yang diberikan orang tua kepada  anak sejak tahun-tahun pertama kehidupannya.  Konsep tersebut menjadi landasan moral perilaku anak pada masa-masa selanjutnya. Perkembangan kepribadian seorang individu  juga telah terbentuk dan sejak masa kanak-kanak awal.  Begitu konsep diri terbentuk, cenderung menetap dan sulit diubah.
           Agar anak tumbuh dan berkembang dengan optimal, dibutuhkan waktu, tenaga, pikiran, pengetahuan, kesabaran, dan sikap yang konsisten dari pengasuh, dalam hal ini orang tua. Pada tahun-tahun pertama kehidupannya, seorang anak membutuhkan orang yang selain berkualitas, juga yang senantiasa siap membantunya kapanpun diperlukan. Waktu puncak tumbuh kembang anak tidak dapat diatur mengikuti ketersediaan waktu orang dewasa. Dan jika pada masa tersebut tidak mendapat rangsangan yang optimal, maka tumbuh kembang anakpun tidak berlangsung dengan optimal.  Oleh karenanya walaupun tanggung jawab pengasuhan ada di tangan kedua orang tua, namun perlu ada komitmen berupa  pembagian peran dan tugas antara Ibu dan Bapak, siapa yang menyediakan waktu lebih banyak bagi pengasuhan anak.
Peran pengasuhan berkaitan dengan kualitas generasi penerus bangsa. Peran tersebut  sangat strategis dan menentukan keberlangsungan dan kesinambungan suatu sistem sosial.  Jika dibandingkan dengan peran-peran lainnya dalam kehidupan, peran pengasuhan sama mulianya dengan peran suami dalam mencari nafkah keluarga. Sayangnya dewasa ini berkembang arus pemikiran dan gerakan yang memandang rendah peran pengasuhan yang dilakukan perempuan di rumah (Peran domestik), hanya karena tidak dapat diukur dengan indikator ekonomi. Mengingat erat kaitannya antara peran pengasuhan dengan pembangunan kepribadian individu, atau dengan kata lain pembangunan karakter bangsa, maka secara luas  perlu diberikan dukungan dan apresiasi bagi perempuan yang berkomitmen memilih peran sebagai ibu rumah tangga pengasuh generasi penerus bangsa.

Opini : Jika membangun bangsa Indonesia yang baik yang pertma harus membangun keluarga terlebih dahulu dan dengan melahirkan generasi penerus yang baik. Keluarga itu menjadi faktor utama inti dari terwujudnya atau suksesnya pembangunan bangsa Indonesia yang lebih baik. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting sekali, dimana pembentukkan karakter baik atau buruk setiap anak atau generasi penerus hampir sepenuhnya mulai dari keluarga. Jadi janganlah menghancurkan nama baik keluarga yang sudah terbentuk dalam kekeluargaan.

http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2012/03/Peran-Keluarga-dalam-Membangun-Bangsa-berkualitasratna-euis2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar