Senin, 28 April 2014

PERTAMBAHAN PENDUDUK DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN



Nama Kelompok : Okky Oksta Bera        (35411444)
                            Albert Enrico             
                            Fabian Vicara liando  
Salah satu informasi penting yang diperlukan dalam penyusunan rencana maupun strategi kebijakan dalam berbagai bidang adalah data kependudukan dengan segala aspeknya.
Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2011 berdasarkan proyeksi sementara jumlah penduduk DKI Jakarta adalah sebanyak 9.761.992 jiwa, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yang berjumlah sebanyak 9.588.198 jiwa, telah terjadi peningkatan sebesar 173.794 jiwa atau naik sebesar 0,98 persen. Apabila dilihat dari perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta selama empat dasawarsa pada kurun waktu tahun 1961-1990 jumlah penduduk tumbuh dengan pesat dari 2,9 juta jiwa pada tahun 1961 menjadi 4,6 juta jiwa pada tahun 1971, atau laju pertumbuhan penduduk per tahun nya sebesar 4,62 persen. Kemudian sepuluh tahun berikutnya, jumlah penduduk bertambah lagi menjadi 6,5 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 4,01 persen per tahun. Tahun 1990, penduduk DKI Jakarta naik sekitar 1,7 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk menjadi 8,3 juta jiwa. Selama periode 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,42 persen per tahun. Laju pertumbuhan pada periode ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan periode sepuluh tahun sebelumnya. Pada kurun waktu 1990-2000, pertambahan penduduk DKI Jakarta dapat dikendalikan sehingga kenaikannya hanya sekitar 0,16 persen. Pada periode 2000-2011, laju pertumbuhan penduduk mengalami kenaikan menjadi 1,40 persen per tahun.
Perlu di perhatikan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta yang berjumlah 9.761.992 juta pada tahun 2011 tersebut adalah jumlah penduduk “malam hari”. Keunikan jumlah penduduk DKI Jakarta adalah adanya perbedaan jumlah penduduk pada malam hari dibandingkan dengan siang hari.Pada siang hari di perkirakan mencapai sekitar 10,7juta jiwa.Kondisi ini di pengaruhi oleh penglaju (commuter) yaitu penduduk yang tinggal di luar Wilayah DKI Jakarta tetapi melakukan aktivitas pada siang hari seperti bekerja dan bersekolah di Wilayah DKI Jakarta.
Jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat ini perlu dicermati karena dapat menimbulkan permasalahan di berbagai bidang. Masalah yang berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang tinggi antara lain masalah pemukiman, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ketenagakerjaan serta sanitasi lingkungan, dan salah satu masalah yang muncul dan perlu di waspadai oleh Pemda DKI Jakarta adalah munculnya pemukiman-pemukiman kumuh (slum area) di beberapa wilayah DKI Jakarta.Untuk lebih jelasnya tentang gambaran dan kondisi permukiman yang ada di Provinsi DKI Jakarta dapat kami jabarkan pada uraian dibawah.

Sanitasi Lingkungan

Rumahku adalah surgaku.Demikian pepatah mengatakan yang menggambarkan sedemikian pentingnya rumah dalam kehidupan manusia.Dalam sepanjang kehidupannya manusia memang membutuhkan rumah yang digunakan sebagai tempat untuk berteduh atau berlindung, baik dari hujan maupun panas dan rumah juga diperlukan untuk memberi rasa aman penghuninya dari gangguan yang tidak diinginkan.Rumah juga menjadi tempat berkumpul bagi para penghuni rumah yang biasanya merupakan ikatan keluarga.
Rumah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk dapat terus bertahan hidup. Dengan kata lain, rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan pangan. Apabila rumah sebagai salah satu kebutuhan pokok tersebut tidak dapat tersedia maka akan sulit manusia dapat hidup secara layak.
Diantara fungsi rumah adalah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir. Dari gambaran tersebut diatas jelas bahwa rumah adalah tempat semua kegiatan, dalam menjalin suatu keharmonisan keluarga.
Pada Tabel : III.75 menunjukkan jumlah dan persentase rumah tangga dan luas lantai di DKI Jakarta tahun 2011. Luas lantai dirinci menjadi < 20 m2, 20-49 m2, 50-99 m2 dan 100+ m2. Tampak dari sekitar 2,6 juta rumah tangga ditemui sebanyak 28,31 persen yang memakai lantai dengan luas < 20 m2, dan 30,55 persen yang memakai lantai dengan luas 20-49 m2, kemudian 19,79 persen rumah tangga menggunakan luas lantai 50-99 m2 dan sisanya sekitar 21,35 persen rumah tangga tinggal di rumah besar dengan luas lantai 100 m2 lebih, coba dibandingan dengan tahun 2010, dimana ditemui 23,93 persen yang memakai lantai dengan luas < 20 m2, dan 34,32 persen yang memakai lantai dengan luas 20-49 m2, kemudian 21,40 persen rumah tangga menggunakan luas lantai 50-99 m2 dan sisanya sekitar 20,35 persen rumah tangga tinggal di rumah besar dengan luas lantai 100 m2 lebih, hal ini menandakan bahwa telah terjadinya peningkatan kesejahteraan ekonomi serta pentingnya hidup layak dan sehat. Untuk lebih jelasnya tentang persentase luasan lantai pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel dibawah:
TABEL : III.75.
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT LUAS LANTAI DI DKI JAKARTA, 2011
KOTA ADMINISTRASI
<20
20-49
50-99
>100
JUMLAH
JAKARTA SELATAN
3,47
32,82
49,52
14,19
100,00
JAKARTA TIMUR
17,07
35,62
22,70
24,61
100,00
JAKARTA PUSAT
20,51
33,58
21,92
23,99
100,00
JAKARTA BARAT
37,03
28,30
19,23
15,45
100,00
JAKARTA UTARA
34,58
28,00
19,25
18,17
100,00
KEPULAUAN SERIBU
41,28
24,26
13,56
20,89
100,00
DKI JAKARTA
28,31
30,55
19,79
21,35
100,00
Sumber           : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2011
Keterangan     : Susenas, 2011
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga (58,86 %) di DKI Jakarta tinggal di bangunan dengan luas lantai kuang dari 49 M2, dan hanya sekitar 20,35 persen rumah tangga tinggal di bangunan dengan luas lantai diatas 100 M2. Besarnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat kepadatan hunian, memberi andil pada kurangnya luas lantai rumah yang dapat dimiliki oleh rumah tangga. Di beberapa tempat, bahkan susunan rumah tampak berdesak-desakan dan tanpa halaman. Selain itu, harga tanah dan rumah di DKI Jakarta sangat mahal menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mampu untuk membeli tanah dan rumah dengan ukuran yang relatif besar.
 


Selain dari luas lantai, jenis lantai juga dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kualitas perumahan.Data Susenas membagi jenis lantai menjadi 2 kategori yaitu tanah dan bukan tanah.Semakin tinggi kualitas lantai perumahan dapat diasumsikan semakin membaik tingkat kesejahteraan penduduknya.Rumah tangga dengan jenis lantai bukan tanah dianggap mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih baik dari rumah tangga yang mempergunakan jenis lantai tanah.
Selain itu, jenis lantai juga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Semakin banyak rumah tangga yang mendiami rumah dengan lantai tanah akan berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Karena lantai tanah diakui dapat menjadi media yang subur bagi timbulnya kuman penyakit dan media penularan bagi jenis penyakit tertentu, seperti penyakit diare, kecacingan dan penyakit kulit. Selain itu, kualitas lantai perumahan dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tertentu.
Tabel : III.76, menunjukkan rumah tangga yang ada di DKI Jakarta menurut jenis lantainya. Tampak bahwa sebagian besar rumah tangga mendiami rumah dengan jenis lantai bukan tanah pada tahun 2011, yang jumlahnya mencapai sekitar 96,40 persen telah terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 96,98persen dari total rumah tangga yang ada. Sedangkan rumah tangga yang menggunakan jenis lantai tanah sekitar 2,15 persen pada tahun 2011 dan juga terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 3,20 persen.
Kenyataan masih adanya rumah tangga di DKI Jakarta yang mempunyai lantai dengan jenis tanah ini cukup memprihatinkan. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 3,61persen rumah tangga tetapi ini mencapai sekitar 93 ribu rumah tangga. Ini patut mendapat perhatian serius dari pemerintah, mengingat lantai tanah dapat berpengaruh pada derajat kesehatan penduduk. Untuk melihat perbandingan antar wilayah di DKI Jakarta tentang persentase jens lantai dapat dilihat pada Tabel dibawah :
TABEL : II.76.
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT JENIS LANTAI DI DKI JAKARTA, 2011
KOTA ADMINISTRASI
BUKAN TANAH/BAMBU
TANAH
BAMBU
JUMLAH
JAKARTA SELATAN
96,53
3,47
0,00
100,00
JAKARTA TIMUR
97,75
1,65
0,61
100,00
JAKARTA PUSAT
98,10
1,65
0,25
100,00
JAKARTA BARAT
95,05
3,86
1,09
100,00
JAKARTA UTARA
95,50
1,83
2,67
100,00
KEPULAUAN SERIBU
94,02
3,03
2,95
100,00
DKI JAKARTA
96,40
2,15
1,46
100,00
Sumber           : BPS Provinsi DKI Jakarta,2011
Keterangan     :
Apabila diamati antar kota administrasi, terlihat bahwa persentase tertinggi rumah tangga yang menggunakan jenis lantai tanah dan bambu terdapat di Jakarta Utara di susul oleh Jakarta Pusat yaitu masing-masing sebesar 5,98 persen dan 4,95 persen. Jakarta Barat menempati urutan ke tiga dengan 4,50 persen rumah tangga yang masih menggunakan lantai tanah/bambu. Rumah tangga yang masih menggunakan lantai tanah ini umumnya berada di daerah kumuh dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang rendah dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (slum area).Pada umumnya rumah tersebut dihuni oleh migran baru dan atau kelompok pekerja kasar (buruh) yang secara konsepsi belum dikategorikan sebagai warga DKI Jakarta. Dengan demikian program lantai semen tidak akan menyentuh mereka karena mereka tidak/belum memiliki KTP DKI Jakarta sebagai syarat dinyatakan sebagai keluarga prasejahtera.
Selain dilihat dari jenis lantai yang dipergunakan, kualitas perumahan dapat pula ditinjau dari jenis dinding. Rumah dapat dikatakan layak huni dan memenuhi standar kesehatan, antara lain ditandai dengan bangunan rumah yang bersifat permanen. Salah satunya dapat dilihat dari bahan bangunan yang digunakan untuk dinding rumah.Dalam pembahasan ini dinding rumah di kelompokkan menjadi empat jenis, yaitu dinding tembok, kayu, bambu dan lainnya.

TABEL : II.77.
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT JENIS DINDING TERBANYAK
DI DKI JAKARTA, 2011
KOTA ADMINISTRASI
TEMBOK
KAYU
BAMBU
LAINNYA
JUMLAH
JAKARTA SELATAN
85,17
9,15
4,74
0,94
100,00
JAKARTA TIMUR
92,81
5,98
0,52
0,69
100,00
JAKARTA PUSAT
95,20
4,14
0,17
0,50
100,00
JAKARTA BARAT
91,60
7,30
0,00
1,09
100,00
JAKARTA UTARA
87,92
10,42
0,17
1,50
100,00
KEPULAUAN SERIBU
85,09
13,73
0,25
0,93
100,00
DKI JAKARTA
90,82
8,02
0,25
0,91
100,00
Sumber           : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2011
Keterangan     :
Apabila pada tahun 2010 jenis dinding terbanyak yang dipakai oleh penduduk DKI Jakarta sebanyak 91,92 persen rumah tangga di DKI Jakarta menggunakan dinding tembok. Jenis dinding kayu dan bambu tidak banyak digunakan, dengan persentase masing-masing hanya sebesar 7,29 dan 0,19 persen dan jenis dinding lainnya seperti seng, karton, plastik masih ada juga yang menggunakan, meskipun hanya 0,60 persen, maka pada tahun 2011 sebanyak 90,82 persen rumah tangga di DKI Jakarta telah menggunakan dinding tembok dan jenis dinding kayu dan bambu seperti tahun sebelumnya tidak banyak digunakan, dimanan persentase masing-masing hanya sebesar 8,02 dan 0,25 persen. Sedangkan jenis dinding lainnya seperti seng, karton, plastik masih ada juga yang menggunakan, meskipun hanya 0,91 persen. Pola ini relatif sama di wilayah kabupaten/kota administrasi.
Jumlah rumah tangga yang mempergunakan jenis dinding lainnya seperti seng, karton, plastik dan lain sebagainya tampak mengalami peningkatan pada tahun 2011 ini dibandingkan dengan tahun 2000. Pada tahun 2000 jumlah rumah tangga yang mempergunakan jenis dinding lainnya ini mencapi sekitar 0,81 persen. Sebaliknya jumlah rumah tangga yang mempergunakan jenis dinding bambu mengalami penurunan dari 0,53 pada tahun 2000 menjadi sekitar 0,19 pada tahun 2010 dan menjadi 0,25 pada tahun 2011.
Apabila dilihat jumlah rumah tangga berdasarkan atap terluas yang digunakan untuk tempat tinggal 55,89 persen menggunakan atap terluas beton/genteng. Kemudian diikuti oleh jenis atap terluas asbes sebanyak 41,29 persen rumah tangga tinggal dibangunan yang beratap asbes. Dilihat berdasarkan kota administrasi tampak bahwa kondisi antar kota administrasi tidak berbeda jauh dengan tingkat kondisi di DKI Jakarta. Hal yang menarik adalah jumlah rumah tangga yang mempergunakan atap asbes/seng/sirap/lain-lain di kota administrasi Jakarta Utara pada tahun 2011 yang mencapai 58,97 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 57,95 persen telah terjadi peningkatan walaupun tidak seberapa. Jumlah ini paling menonjol jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang mempergunakan atap yang sama di kota administrasi lain. Berbeda dengan kondisi di Kota administrasi Jakarta Utara, Kota administrasi Jakarta Pusat pada tahun 2011 justru mempunyai jumlah rumah tangga paling kecil yang mempergunakan atap seng/asbes/sirap/ lain-lain (sekitar 27 % rumah tangga). Kondisi seperti ini mencerminkan masih banyaknya rumah tangga yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yang relatif lebih rendah di Jakarta Utara.Kemungkinan sebagian dari mereka adalah para nelayan dan pencari ikan, serta rumah tangga-rumah tangga di daerah kumuh dan kurang tertata.
Apabila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2000 tampak bahwa pada tahun 2010 dan tahun 2011 jumlah rumah tangga yang mempergunakan atap beton mengalami sedikit peningkatan sedangkan rumah tangga yang mempergunakan atap genteng mengalami penurunan. Rumah tangga yang mempergunakan atap beton meningkat dari 3,59 persen pada tahun 2000 menjadi sekitar 2,66 persen pada tahun 2010 dan meningkat lagi pada tahun 2011 menjadi sekitar 4,21 persen, sedangkan rumah tangga dengan atap genteng menurun dari 84,32 persen pada tahun 2000 menjadi sekitar 55,50 persen rumah tangga pada tahun 2010 dan meningkat kembali 51,68 persen pada tahun 2011. Jumlah rumah tangga dengan jenis atap yang selain beton dan genteng relatif tetap.Diduga rumah tangga yang sebelumnya mempergunakan atap genteng sebagian telah berganti ke atap beton, hal ini mungkin terkait dengan adanya peningkatan pendapatan atau perubahan tentang bentuk rumah yang lebih minimalis. Apabila dilihat dari data tahun 2010 jumlah rumah tangga miskin di wilayah Jakarta Selatan sebanyak 9.608 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Timur sebanyak 46.908 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Pusat sebanyak 24.921 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Barat sebanyak 33.588 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Utara sebanyak 50.291 Rumah Tanggadan wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 573 Rumah Tangga, dan apabila dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah jumlah rumah tangga miskin di wilayah Jakarta Selatan sebanyak 8.877 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Timur sebanyak 41.261 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Pusat sebanyak 23.106 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Barat sebanyak 28.845 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Utara sebanyak 48.635 Rumah Tangga dan wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 576 Rumah Tangga (lihat Tabel : III.78).
TABEL : III.78.
JUMLAH RUMAH TANGGA MISKIN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011
NO
KABUPATEN/KOTA
JUMLAH RUMAH TANGGA
JUMLAH RUMAH TANGGA MISKIN
1
JAKARTA SELATAN
549.247
8.877
2
JAKARTA TIMUR
709.277
41.261
3
JAKARTA PUSAT
243.072
23.106
4
JAKARTA BARAT
624.978
28.845
5
JAKARTA UTARA
446.409
48.635
6
KEPULAUAN SERIBU
4.897
576
DKI JAKARTA
2.577.880
151.300
Sumber           : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2011
Keterangan     : Proyeksi dan Updating Data Rumah Tangga Sasaran (UDRTS) 2009
Dari gambaran tersebut diatas karena wilayah DKI Jakarta selain dialiri oleh 13 (tiga belas) sungai yang tersebar di 5 (lima) wilayah Kota, juga terdapat hamparan pantai khususnya di wilayah Jakarta Utara dan apabila dilihat pada Tabel : III.79 maka terlihat bahwa warga di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011 selain ada yang mendiami daerah bantara kali sebanyak 32.389 rumah tangga, juga ada yang mendiami daerah pasang surut sebanyak 166.252 Rumah, walaupun telah banyak berkurangnya jumlah rumah tangga miskin di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011, sebagian besar rumah tangga tersebut berada didaerah pasang surut.
TABEL : III.79.
JUMLAH RUMAH TANGGA MENURUT LOKASI TEMPAT TINGGAL TAHUN 2011
NO
LOKASI PERMUKIMAN
JUMLAH RUMAH TANGGA
1
Mewah
 NA
2
Menengah
 NA
3
Sederhana
 NA
4
Kumuh
115.544
5
Bantaran Sungai
32.389
6
Pasang Surut
166.252
Sumber           : BPS Provinsi DKI Jakarta 2011
Keterangan     : Kategori 1-3, data tidak tersedia
Dalam kaitan tersebut diatas bahwa berdasarkan gambaran tentang kondisi perumahan di DKI Jakarta secara umum menunjukkan bahwa kualitas bangunannya secara umum cukup baik dan terus mengalami peningkatan dan jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun hal ini menadakan bahwa tingkat perekonomian penduduk di Provinsi DKI Jakarta sudah mulai menggeliat kearah perbaikan. Khusus untuk penanganan lokasi tempat tinggal yang berada didaerah kumuh, bantaran sungai dan pasang surut terus diupayakan untuk dilakukan penataan, misalnya melalui perbaikan lingkungan, sarana dan prasarana kota serta pembangunan rumah susun. Dengan upaya ini diharapkan kualitas perumahan dan lingkungan di DKI Jakarta akan meningkat dibandingkan waktu sebelumnya, walaupun dari permukiman tersebut diatas hasil perkiraan beban limbah cair dan pencemaran air dari sumber domestik yang mempunyai saluran dan tanpa sarana pembuangan limbah cair yang dihasilkan pada tahun 2011 adalah adalah BOD sebesar 143.417.553 Ton/Tahun.,COD sebesar 321.335.224 Ton/Tahun, SS sebesar 92.139.120 Ton/Tahun,TDS sebesar 176.185.391 Ton/tahun,N sebesar 15.929.090 Ton/Tahun dan P sebesar 1.930.799 Ton/Tahun. (Lihat Tabel SP-9A (T) pada Buku Data), apabila dibandingkan dengan tahun 2010 beban limbah cair dan pencemaran air dari sumber domestik yang mempunyai saluran dan tanpa sarana pembuangan limbah cair yang dihasilkan adalah BOD sebesar 184.140.529 Ton/Tahun, COD sebesar 1.290.260.326 Ton/Tahun, SS sebesar 107.585.561 Ton/Tahun, TDS sebesar 205.969.135 Ton/Tahun, N sebesar 18.621.867 Ton/Tahun dan P sebesar 2.257.196 Ton/Tahun terjadi peningkatan dan penurunan untuk pencemar tertentu.

OPINI:
Populasi atau jumlah penduduk yang semakin banyak  di daerah perkotaan khususnya di ibu kota DKI Jakarta. Penyebabnya antara lain karena faktor natalitas atau kelahiran yang tinggi terjadi di DKI Jakarta dan faktor perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang biasa disebut urbanisasi terjadi secara massal menuju DKI Jakarta. Untuk faktor yang pertama yaitu angka natalitas sebenarnya pemerintah sudah mengantisipasi hal tersebut dengan mencanangkan program KB yaitu “dua anak saja cukup” namun nampaknya hal ini belum terlalu disadari oleh masyarakat khususnya di daerah ibukota. Sedangkan untuk faktor yang kedua yaitu urbanisasi secara massal terjadi karena pembangunan ekonomi di daerah pedesaan masih sangat tertinggal.
Semakin banyaknya jumlah penduduk di daerah DKI Jakarta menimbulkan suatu permintaan yang tinggi dalam bidang property seperti rumah, rusun, apartment, dll.Masalah timbul karena terjadinya keterbatasan lahan untuk membangun property tersebut dan mengakibatkan banyak orang yang tidak mendapatkan tempat tinggal secara layak karena penuh sesaknya dan begitu dekatnya jarak antar tempat tinggal di DKI Jakarta.Tidak hanya itu saja harga untuk tiap unit property di DKI Jakarta sudah melambung tinggi sehingga banyak orang tidak dapat memiliki rumah dan memilih untuk mendirikan bangunan-bangunan liar yang dari segi estetikanya terlihat sangat kumuh.Sebab itu pemerintah harus dapat mengendalikan tingkat pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat ini dengan program-program yang tepat sasaran tetapi tidak melanggar HAM supaya masalah permukiman liar dan kumuh tidak terjadi lagi khususnya di daerah ibukota DKI Jakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar