INILAH.COM, Jakarta - Masyarakat Indonesia sudah
sadar bahwa kesalahan fatal dari kehadiran PT Freeport Indonesia (FI)
yang begitu lama, yaitu sekitar 44 tahun, dengan pembagian manfaat yang
tidak adil, menimbulkan konflik dan ketegangan sosial.
Bahkan situasi itu membuat kericuhan menjadi multidimensi, campur aduk antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Tanah Papua menyimpan emas yang dieksploitasi PT Freeport Indonesia sejak puluhan tahun silam dan menghasilkan kekayaan luar biasa bagi perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat tersebut.
Namun di sisi yang lain, kesejahteraan buruhnya tak sebanding dengan buruh Freeport di negara lain. Papua dinilai sebagai ironi Indonesia, tanahnya kaya tetapi rakyatnya banyak yang masih miskin.
Harry Tjan Silalahi dari CSIS menilai, dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh beking yang luar biasa dari kekuatan korporat asing. Dan yang lain-lainnya itu hanya merupakan puncak dari gunung es yang sangat menyakitkan hati.
Tak heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang biasanya lemah lembut, jadi berang ketika mengumumkan akan melakukan renegosiasi. Memang enough is enough tapi mau ditunggu sampai kapan? Apakah sampai Papua merdeka dengan penguasaan de facto oleh Freeport yang berfungsi bak VOC dulu?
Sekadar beberapa angka perbandingan. Pada saat ini Freeport McMoran menguasai 90,64 saham Freeport Indonesia. Hanya 9,36 persen yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Ini tidak adil dan sangat menyakitkan. Sementara saham Amerika Latin, dimana Freeport juga beroperasi, bisa mencapai 32 persen.
Benarlah pernyataan anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani yang meminta agar Pemerintah RI berani menggelar negosiasi ulang (renegosiasi) saham negara di PT Freeport Indonesia, ketimbang meributkan persoalan dana keamanan yang diberikan perusahaan tambang itu kepada aparat kepolisian dan TNI.
“Kita tidak perlu ribut soal duit keamanan, duit centeng. Satu hal yang harus kita pahami bahwa duit negara dalam jumlah yang lebih besar di PT Freeport harus diperjuangkan. Jadi bagi saya, kita tidak perlu bicarakan uang centeng itu, uang hak kita yang belum kita renegosiasi, itu lebih penting," kata Ahmad Yani, Senin.
Soal dana keamanan dari PT Freeport, sepanjang digunakan untuk biaya operasional pasukan di lapangan masih bisa ditoleransi. Sebab, lanjut Yani, anggaran negara untuk itu memang tidak ada. Yani menegaskan, justru yang paling penting sekarang adalah presiden sebagai kepala pemerintahan harus melakukan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport.
Langkah berikutnya, pemerintah dan Freeport harus duduk bersama agar share saham republik ini bisa dinaikkan jumlah kepemilikannya. "Kalau sekarang hanya satu persen. Sementara di Amerika Latin, Freeport bisa berbagai saham dengan negara bersangkutan sampai 32 persen," tegas Ahmad Yani.
Dengan cara demikian, kekayaan alam yang melimpah bisa membawa berkah bagi rakyat Papua. Artinya, RI harus bisa renegosiasi seperti Amerika Latin, demi maslahat rakyat Papua yang kini menuntut keadilan dan kesetaraan. [mdr]
Bahkan situasi itu membuat kericuhan menjadi multidimensi, campur aduk antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik. Tanah Papua menyimpan emas yang dieksploitasi PT Freeport Indonesia sejak puluhan tahun silam dan menghasilkan kekayaan luar biasa bagi perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat tersebut.
Namun di sisi yang lain, kesejahteraan buruhnya tak sebanding dengan buruh Freeport di negara lain. Papua dinilai sebagai ironi Indonesia, tanahnya kaya tetapi rakyatnya banyak yang masih miskin.
Harry Tjan Silalahi dari CSIS menilai, dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil kekerasan yang terjadi dilatarbelakangi oleh beking yang luar biasa dari kekuatan korporat asing. Dan yang lain-lainnya itu hanya merupakan puncak dari gunung es yang sangat menyakitkan hati.
Tak heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang biasanya lemah lembut, jadi berang ketika mengumumkan akan melakukan renegosiasi. Memang enough is enough tapi mau ditunggu sampai kapan? Apakah sampai Papua merdeka dengan penguasaan de facto oleh Freeport yang berfungsi bak VOC dulu?
Sekadar beberapa angka perbandingan. Pada saat ini Freeport McMoran menguasai 90,64 saham Freeport Indonesia. Hanya 9,36 persen yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Ini tidak adil dan sangat menyakitkan. Sementara saham Amerika Latin, dimana Freeport juga beroperasi, bisa mencapai 32 persen.
Benarlah pernyataan anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani yang meminta agar Pemerintah RI berani menggelar negosiasi ulang (renegosiasi) saham negara di PT Freeport Indonesia, ketimbang meributkan persoalan dana keamanan yang diberikan perusahaan tambang itu kepada aparat kepolisian dan TNI.
“Kita tidak perlu ribut soal duit keamanan, duit centeng. Satu hal yang harus kita pahami bahwa duit negara dalam jumlah yang lebih besar di PT Freeport harus diperjuangkan. Jadi bagi saya, kita tidak perlu bicarakan uang centeng itu, uang hak kita yang belum kita renegosiasi, itu lebih penting," kata Ahmad Yani, Senin.
Soal dana keamanan dari PT Freeport, sepanjang digunakan untuk biaya operasional pasukan di lapangan masih bisa ditoleransi. Sebab, lanjut Yani, anggaran negara untuk itu memang tidak ada. Yani menegaskan, justru yang paling penting sekarang adalah presiden sebagai kepala pemerintahan harus melakukan renegosiasi kontrak dengan PT Freeport.
Langkah berikutnya, pemerintah dan Freeport harus duduk bersama agar share saham republik ini bisa dinaikkan jumlah kepemilikannya. "Kalau sekarang hanya satu persen. Sementara di Amerika Latin, Freeport bisa berbagai saham dengan negara bersangkutan sampai 32 persen," tegas Ahmad Yani.
Dengan cara demikian, kekayaan alam yang melimpah bisa membawa berkah bagi rakyat Papua. Artinya, RI harus bisa renegosiasi seperti Amerika Latin, demi maslahat rakyat Papua yang kini menuntut keadilan dan kesetaraan. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar