Nama Kelompok: Albert Enrico (30411537)
Fabian Vicara (32411545)
Okky Oksta Bera (35411444)
Fabian Vicara (32411545)
Okky Oksta Bera (35411444)
Salah satu
informasi penting yang diperlukan dalam penyusunan rencana maupun strategi
kebijakan dalam berbagai bidang adalah data kependudukan dengan segala
aspeknya.
Jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2011 berdasarkan proyeksi sementara jumlah
penduduk DKI Jakarta adalah sebanyak 9.761.992 jiwa, apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yang
berjumlah sebanyak 9.588.198 jiwa,
telah terjadi peningkatan sebesar 173.794 jiwa atau naik sebesar 0,98 persen.
Apabila dilihat dari perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta selama empat dasawarsa pada kurun waktu tahun 1961-1990 jumlah penduduk tumbuh
dengan pesat dari 2,9 juta jiwa pada tahun 1961 menjadi 4,6 juta jiwa pada
tahun 1971, atau laju pertumbuhan penduduk per tahun nya sebesar 4,62 persen.
Kemudian sepuluh tahun berikutnya, jumlah penduduk bertambah lagi menjadi 6,5
juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 4,01 persen per tahun. Tahun 1990, penduduk
DKI Jakarta naik sekitar 1,7 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk menjadi 8,3
juta jiwa. Selama periode 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,42
persen per tahun. Laju pertumbuhan pada periode ini mengalami penurunan
signifikan dibandingkan periode sepuluh tahun sebelumnya. Pada kurun waktu 1990-2000,
pertambahan penduduk DKI Jakarta dapat dikendalikan sehingga kenaikannya hanya
sekitar 0,16 persen. Pada periode 2000-2011, laju pertumbuhan penduduk mengalami kenaikan menjadi 1,40 persen per tahun.
Perlu di
perhatikan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta yang berjumlah 9.761.992 juta pada tahun 2011 tersebut adalah jumlah penduduk “malam
hari”. Keunikan jumlah penduduk DKI Jakarta adalah adanya perbedaan jumlah
penduduk pada malam hari dibandingkan dengan siang hari.Pada siang hari di
perkirakan mencapai sekitar 10,7juta jiwa.Kondisi ini di pengaruhi oleh
penglaju (commuter) yaitu penduduk yang tinggal di luar
Wilayah DKI Jakarta tetapi melakukan aktivitas pada siang hari seperti bekerja
dan bersekolah di Wilayah DKI Jakarta.
Jumlah penduduk
DKI Jakarta yang terus meningkat ini perlu dicermati karena dapat menimbulkan
permasalahan di berbagai bidang. Masalah yang berkaitan erat dengan jumlah
penduduk yang tinggi antara lain masalah pemukiman, kesehatan, pendidikan,
transportasi, dan ketenagakerjaan serta
sanitasi lingkungan, dan salah satu masalah yang muncul dan perlu di waspadai
oleh Pemda DKI Jakarta adalah munculnya pemukiman-pemukiman kumuh (slum area) di beberapa wilayah DKI Jakarta.Untuk
lebih jelasnya tentang gambaran dan kondisi permukiman yang ada di Provinsi DKI
Jakarta dapat kami jabarkan pada uraian dibawah.
Sanitasi Lingkungan
Rumahku adalah
surgaku.Demikian pepatah
mengatakan yang menggambarkan sedemikian pentingnya rumah dalam kehidupan
manusia.Dalam sepanjang kehidupannya manusia memang membutuhkan rumah yang
digunakan sebagai tempat untuk berteduh atau berlindung, baik dari hujan maupun
panas dan rumah juga diperlukan untuk memberi rasa aman penghuninya dari
gangguan yang tidak diinginkan.Rumah juga menjadi tempat berkumpul bagi para penghuni
rumah yang biasanya merupakan ikatan keluarga.
Rumah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi untuk dapat terus
bertahan hidup. Dengan kata lain, rumah
merupakan salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan pangan. Apabila rumah
sebagai salah satu kebutuhan pokok tersebut tidak dapat tersedia maka akan
sulit manusia dapat hidup secara layak.
Diantara fungsi rumah adalah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator
bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan
semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai
fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain
dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang
air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir. Dari gambaran tersebut diatas jelas bahwa
rumah adalah tempat semua kegiatan, dalam menjalin suatu keharmonisan keluarga.
Pada Tabel : III.75 menunjukkan jumlah dan persentase
rumah tangga dan luas lantai di DKI Jakarta tahun 2011. Luas lantai dirinci menjadi < 20 m2,
20-49 m2, 50-99 m2 dan
100+ m2. Tampak dari sekitar 2,6 juta rumah tangga ditemui sebanyak 28,31 persen yang memakai lantai dengan luas < 20 m2, dan 30,55 persen yang memakai
lantai dengan luas 20-49 m2, kemudian 19,79 persen rumah tangga
menggunakan luas lantai 50-99 m2 dan
sisanya sekitar 21,35 persen rumah tangga tinggal di rumah besar dengan luas lantai 100 m2 lebih, coba dibandingan dengan tahun 2010, dimana ditemui 23,93 persen yang memakai
lantai dengan luas < 20 m2, dan 34,32 persen yang memakai lantai dengan luas 20-49 m2, kemudian 21,40 persen rumah tangga
menggunakan luas lantai 50-99 m2 dan
sisanya sekitar 20,35 persen rumah tangga tinggal di rumah besar dengan luas lantai 100 m2 lebih, hal ini menandakan bahwa telah terjadinya
peningkatan kesejahteraan ekonomi serta pentingnya hidup layak dan sehat. Untuk lebih jelasnya tentang persentase
luasan lantai pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel dibawah:
KOTA ADMINISTRASI
|
<20
|
20-49
|
50-99
|
>100
|
JUMLAH
|
JAKARTA SELATAN
|
3,47
|
32,82
|
49,52
|
14,19
|
100,00
|
JAKARTA TIMUR
|
17,07
|
35,62
|
22,70
|
24,61
|
100,00
|
JAKARTA PUSAT
|
20,51
|
33,58
|
21,92
|
23,99
|
100,00
|
JAKARTA BARAT
|
37,03
|
28,30
|
19,23
|
15,45
|
100,00
|
JAKARTA UTARA
|
34,58
|
28,00
|
19,25
|
18,17
|
100,00
|
KEPULAUAN SERIBU
|
41,28
|
24,26
|
13,56
|
20,89
|
100,00
|
DKI JAKARTA
|
28,31
|
30,55
|
19,79
|
21,35
|
100,00
|
Kenyataan diatas
menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga (58,86 %) di DKI Jakarta
tinggal di bangunan dengan luas lantai kuang dari 49 M2, dan hanya sekitar 20,35 persen
rumah tangga tinggal di bangunan dengan luas lantai diatas 100 M2.
Besarnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat kepadatan hunian, memberi andil
pada kurangnya luas lantai rumah yang dapat dimiliki oleh rumah tangga. Di beberapa tempat, bahkan susunan rumah tampak
berdesak-desakan dan tanpa halaman. Selain itu, harga tanah dan rumah di DKI
Jakarta sangat mahal menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mampu untuk
membeli tanah dan rumah dengan ukuran yang relatif besar.
Selain dari luas
lantai, jenis lantai juga dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat
kualitas perumahan.Data Susenas membagi jenis lantai menjadi 2 kategori yaitu
tanah dan bukan tanah.Semakin tinggi kualitas lantai perumahan dapat
diasumsikan semakin membaik tingkat kesejahteraan penduduknya.Rumah tangga
dengan jenis lantai bukan tanah dianggap mempunyai tingkat kesejahteraan yang
lebih baik dari rumah tangga yang mempergunakan jenis lantai tanah.
Selain itu, jenis lantai juga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan
masyarakat. Semakin banyak rumah tangga yang mendiami rumah dengan lantai tanah
akan berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan masyarakat. Karena lantai
tanah diakui dapat menjadi media yang subur bagi timbulnya kuman penyakit dan
media penularan bagi jenis penyakit tertentu, seperti penyakit diare,
kecacingan dan penyakit kulit. Selain itu, kualitas lantai perumahan dapat
mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tertentu.
Tabel : III.76, menunjukkan rumah tangga yang
ada di DKI Jakarta menurut jenis lantainya. Tampak bahwa sebagian besar rumah
tangga mendiami rumah dengan jenis lantai bukan tanah pada tahun 2011, yang jumlahnya mencapai sekitar 96,40 persen telah terjadi penurunan apabila
dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 96,98persen dari total rumah tangga
yang ada. Sedangkan rumah tangga yang menggunakan jenis lantai tanah sekitar 2,15 persen pada tahun 2011 dan juga terjadi penurunan
apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu sebesar 3,20 persen.
Kenyataan masih adanya rumah tangga di DKI Jakarta yang mempunyai lantai
dengan jenis tanah ini cukup memprihatinkan. Meskipun jumlahnya hanya sekitar
3,61persen rumah tangga tetapi ini
mencapai sekitar 93 ribu rumah tangga. Ini
patut mendapat perhatian serius dari pemerintah, mengingat lantai tanah dapat
berpengaruh pada derajat kesehatan penduduk. Untuk melihat perbandingan antar wilayah di
DKI Jakarta tentang persentase jens lantai dapat dilihat pada Tabel dibawah :
KOTA
ADMINISTRASI
|
BUKAN
TANAH/BAMBU
|
TANAH
|
BAMBU
|
JUMLAH
|
JAKARTA SELATAN
|
96,53
|
3,47
|
0,00
|
100,00
|
JAKARTA TIMUR
|
97,75
|
1,65
|
0,61
|
100,00
|
JAKARTA PUSAT
|
98,10
|
1,65
|
0,25
|
100,00
|
JAKARTA BARAT
|
95,05
|
3,86
|
1,09
|
100,00
|
JAKARTA UTARA
|
95,50
|
1,83
|
2,67
|
100,00
|
KEPULAUAN SERIBU
|
94,02
|
3,03
|
2,95
|
100,00
|
DKI JAKARTA
|
96,40
|
2,15
|
1,46
|
100,00
|
Apabila diamati
antar kota administrasi, terlihat bahwa persentase tertinggi rumah tangga yang
menggunakan jenis lantai tanah dan
bambu terdapat di Jakarta Utara di susul oleh Jakarta Pusat yaitu masing-masing
sebesar 5,98 persen dan 4,95 persen. Jakarta Barat menempati urutan ke tiga
dengan 4,50 persen rumah tangga yang masih menggunakan lantai tanah/bambu.
Rumah tangga yang masih menggunakan lantai tanah ini umumnya berada di daerah
kumuh dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang rendah dan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi (slum
area).Pada umumnya rumah tersebut dihuni oleh migran baru dan atau kelompok
pekerja kasar (buruh) yang secara konsepsi belum dikategorikan sebagai warga
DKI Jakarta. Dengan demikian
program lantai semen tidak akan menyentuh mereka karena mereka tidak/belum
memiliki KTP DKI Jakarta sebagai syarat dinyatakan sebagai keluarga
prasejahtera.
Selain dilihat
dari jenis lantai yang dipergunakan, kualitas perumahan dapat pula ditinjau
dari jenis dinding. Rumah dapat dikatakan layak huni dan memenuhi standar
kesehatan, antara lain ditandai dengan bangunan rumah yang bersifat permanen.
Salah satunya dapat dilihat dari bahan bangunan yang digunakan untuk dinding
rumah.Dalam pembahasan ini dinding rumah di kelompokkan menjadi empat jenis,
yaitu dinding tembok, kayu, bambu dan lainnya.
KOTA ADMINISTRASI
|
TEMBOK
|
KAYU
|
BAMBU
|
LAINNYA
|
JUMLAH
|
JAKARTA SELATAN
|
85,17
|
9,15
|
4,74
|
0,94
|
100,00
|
JAKARTA TIMUR
|
92,81
|
5,98
|
0,52
|
0,69
|
100,00
|
JAKARTA PUSAT
|
95,20
|
4,14
|
0,17
|
0,50
|
100,00
|
JAKARTA BARAT
|
91,60
|
7,30
|
0,00
|
1,09
|
100,00
|
JAKARTA UTARA
|
87,92
|
10,42
|
0,17
|
1,50
|
100,00
|
KEPULAUAN SERIBU
|
85,09
|
13,73
|
0,25
|
0,93
|
100,00
|
DKI JAKARTA
|
90,82
|
8,02
|
0,25
|
0,91
|
100,00
|
Apabila pada
tahun 2010 jenis dinding terbanyak yang dipakai oleh penduduk DKI Jakarta sebanyak 91,92 persen rumah tangga di DKI Jakarta
menggunakan dinding tembok. Jenis dinding kayu dan bambu tidak banyak
digunakan, dengan persentase masing-masing hanya sebesar
7,29 dan 0,19 persen dan jenis
dinding lainnya seperti seng, karton, plastik masih ada juga yang menggunakan,
meskipun hanya 0,60 persen, maka pada tahun 2011 sebanyak
90,82 persen rumah tangga di DKI
Jakarta telah menggunakan dinding tembok dan jenis
dinding kayu dan bambu seperti
tahun sebelumnya tidak banyak
digunakan, dimanan persentase masing-masing hanya sebesar 8,02 dan
0,25 persen. Sedangkan jenis
dinding lainnya seperti seng, karton, plastik masih ada juga yang menggunakan,
meskipun hanya 0,91 persen. Pola ini relatif sama di
wilayah kabupaten/kota administrasi.
Jumlah rumah
tangga yang mempergunakan jenis dinding lainnya seperti seng, karton, plastik
dan lain sebagainya tampak mengalami peningkatan pada tahun 2011 ini dibandingkan dengan tahun 2000.
Pada tahun 2000 jumlah rumah tangga yang mempergunakan jenis dinding lainnya
ini mencapi sekitar 0,81 persen. Sebaliknya jumlah rumah tangga yang
mempergunakan jenis dinding bambu mengalami penurunan dari 0,53 pada tahun 2000
menjadi sekitar 0,19 pada tahun
2010 dan menjadi 0,25 pada tahun 2011.
Apabila dilihat
jumlah rumah tangga berdasarkan atap terluas yang digunakan untuk tempat
tinggal 55,89 persen menggunakan atap terluas beton/genteng. Kemudian diikuti
oleh jenis atap terluas asbes sebanyak 41,29 persen rumah tangga tinggal
dibangunan yang beratap asbes. Dilihat berdasarkan kota administrasi tampak
bahwa kondisi antar kota administrasi tidak berbeda jauh dengan tingkat kondisi
di DKI Jakarta. Hal yang menarik adalah jumlah rumah tangga yang mempergunakan
atap asbes/seng/sirap/lain-lain di kota administrasi Jakarta Utara pada tahun
2011 yang mencapai 58,97 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar
57,95 persen telah terjadi peningkatan walaupun tidak seberapa. Jumlah ini paling menonjol jika
dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang mempergunakan atap yang sama di
kota administrasi lain. Berbeda dengan kondisi di Kota administrasi Jakarta
Utara, Kota administrasi Jakarta Pusat
pada tahun 2011 justru mempunyai
jumlah rumah tangga paling kecil yang mempergunakan atap seng/asbes/sirap/ lain-lain (sekitar 27 % rumah tangga). Kondisi seperti ini
mencerminkan masih banyaknya rumah tangga yang mempunyai tingkat sosial ekonomi
yang relatif lebih rendah di Jakarta Utara.Kemungkinan sebagian dari mereka
adalah para nelayan dan pencari ikan, serta rumah tangga-rumah tangga di daerah
kumuh dan kurang tertata.
Apabila
dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2000 tampak bahwa pada tahun 2010 dan tahun 2011 jumlah rumah tangga yang mempergunakan
atap beton mengalami sedikit peningkatan sedangkan rumah tangga yang
mempergunakan atap genteng mengalami penurunan. Rumah tangga yang mempergunakan
atap beton meningkat dari 3,59 persen pada tahun 2000 menjadi sekitar 2,66 persen pada tahun 2010 dan meningkat
lagi pada tahun 2011 menjadi sekitar 4,21 persen, sedangkan rumah tangga dengan
atap genteng menurun dari 84,32 persen pada tahun 2000 menjadi sekitar 55,50 persen rumah tangga pada tahun 2010 dan meningkat kembali
51,68 persen pada tahun 2011. Jumlah rumah tangga dengan jenis atap yang selain
beton dan genteng relatif tetap.Diduga rumah tangga yang sebelumnya
mempergunakan atap genteng sebagian telah berganti ke atap beton, hal ini
mungkin terkait dengan adanya peningkatan pendapatan atau perubahan tentang
bentuk rumah yang lebih minimalis. Apabila
dilihat dari data tahun 2010 jumlah rumah tangga miskin di wilayah Jakarta
Selatan sebanyak 9.608 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Timur sebanyak 46.908
Rumah Tangga, wilayah Jakarta Pusat sebanyak 24.921 Rumah Tangga, wilayah
Jakarta Barat sebanyak 33.588 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Utara sebanyak 50.291
Rumah Tanggadan wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 573 Rumah Tangga, dan apabila
dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah jumlah rumah tangga miskin di wilayah
Jakarta Selatan sebanyak 8.877 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Timur sebanyak
41.261 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Pusat sebanyak 23.106 Rumah Tangga,
wilayah Jakarta Barat sebanyak 28.845 Rumah Tangga, wilayah Jakarta Utara
sebanyak 48.635 Rumah Tangga dan wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 576 Rumah
Tangga (lihat Tabel : III.78).
NO
|
KABUPATEN/KOTA
|
JUMLAH RUMAH
TANGGA
|
JUMLAH RUMAH
TANGGA MISKIN
|
1
|
JAKARTA SELATAN
|
549.247
|
8.877
|
2
|
JAKARTA TIMUR
|
709.277
|
41.261
|
3
|
JAKARTA PUSAT
|
243.072
|
23.106
|
4
|
JAKARTA BARAT
|
624.978
|
28.845
|
5
|
JAKARTA UTARA
|
446.409
|
48.635
|
6
|
KEPULAUAN SERIBU
|
4.897
|
576
|
DKI JAKARTA
|
2.577.880
|
151.300
|
|
Dari gambaran
tersebut diatas karena wilayah DKI Jakarta selain dialiri oleh 13 (tiga belas)
sungai yang tersebar di 5 (lima) wilayah Kota, juga terdapat hamparan pantai
khususnya di wilayah Jakarta Utara dan apabila dilihat pada Tabel : III.79 maka terlihat bahwa warga di wilayah
DKI Jakarta pada tahun 2011 selain ada yang mendiami daerah bantara kali
sebanyak 32.389 rumah tangga, juga ada yang mendiami daerah pasang surut
sebanyak 166.252 Rumah, walaupun telah banyak berkurangnya jumlah rumah tangga
miskin di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2011, sebagian besar rumah tangga
tersebut berada didaerah pasang surut.
NO
|
LOKASI
PERMUKIMAN
|
JUMLAH RUMAH
TANGGA
|
1
|
Mewah
|
NA
|
2
|
Menengah
|
NA
|
3
|
Sederhana
|
NA
|
4
|
Kumuh
|
115.544
|
5
|
Bantaran Sungai
|
32.389
|
6
|
Pasang Surut
|
166.252
|
Dalam kaitan
tersebut diatas bahwa berdasarkan gambaran tentang kondisi perumahan di DKI
Jakarta secara umum menunjukkan bahwa kualitas bangunannya secara umum cukup
baik dan terus mengalami peningkatan dan jumlah penduduk miskin terus mengalami
penurunan dari tahun ke tahun hal ini menadakan bahwa tingkat perekonomian
penduduk di Provinsi DKI Jakarta sudah mulai menggeliat kearah perbaikan.
Khusus untuk penanganan lokasi tempat tinggal yang berada didaerah kumuh,
bantaran sungai dan pasang surut terus diupayakan untuk dilakukan penataan,
misalnya melalui perbaikan lingkungan, sarana dan prasarana kota serta
pembangunan rumah susun. Dengan upaya ini diharapkan kualitas perumahan dan
lingkungan di DKI Jakarta akan meningkat dibandingkan waktu sebelumnya, walaupun dari permukiman tersebut diatas hasil
perkiraan beban limbah cair dan pencemaran air dari sumber domestik yang
mempunyai saluran dan tanpa sarana pembuangan limbah cair yang dihasilkan pada
tahun 2011 adalah adalah BOD sebesar 143.417.553 Ton/Tahun.,COD sebesar
321.335.224 Ton/Tahun, SS sebesar 92.139.120 Ton/Tahun,TDS sebesar 176.185.391
Ton/tahun,N sebesar 15.929.090 Ton/Tahun dan P sebesar 1.930.799 Ton/Tahun.
(Lihat Tabel SP-9A (T) pada Buku Data), apabila dibandingkan
dengan tahun 2010 beban limbah cair dan pencemaran air dari sumber domestik
yang mempunyai saluran dan tanpa sarana pembuangan limbah cair yang dihasilkan
adalah BOD sebesar 184.140.529 Ton/Tahun, COD sebesar 1.290.260.326 Ton/Tahun,
SS sebesar 107.585.561 Ton/Tahun, TDS sebesar 205.969.135 Ton/Tahun, N sebesar
18.621.867 Ton/Tahun dan P sebesar 2.257.196 Ton/Tahun terjadi peningkatan dan
penurunan untuk pencemar tertentu.
OPINI:
Populasi atau jumlah penduduk yang semakin banyak di daerah perkotaan khususnya di ibu kota DKI
Jakarta. Penyebabnya antara lain karena faktor natalitas atau kelahiran yang
tinggi terjadi di DKI Jakarta dan faktor perpindahan penduduk dari desa ke kota
atau yang biasa disebut urbanisasi terjadi secara massal menuju DKI Jakarta.
Untuk faktor yang pertama yaitu angka natalitas sebenarnya pemerintah sudah
mengantisipasi hal tersebut dengan mencanangkan program KB yaitu “dua anak saja
cukup” namun nampaknya hal ini belum terlalu disadari oleh masyarakat khususnya
di daerah ibukota. Sedangkan untuk faktor yang kedua yaitu urbanisasi secara massal
terjadi karena pembangunan ekonomi di daerah pedesaan masih sangat tertinggal.
Semakin banyaknya jumlah penduduk di daerah DKI Jakarta menimbulkan
suatu permintaan yang tinggi dalam bidang property
seperti rumah, rusun, apartment,
dll.Masalah timbul karena terjadinya keterbatasan lahan untuk membangun property tersebut dan mengakibatkan
banyak orang yang tidak mendapatkan tempat tinggal secara layak karena penuh
sesaknya dan begitu dekatnya jarak antar tempat tinggal di DKI Jakarta.Tidak
hanya itu saja harga untuk tiap unit property
di DKI Jakarta sudah melambung tinggi sehingga banyak orang tidak dapat
memiliki rumah dan memilih untuk mendirikan bangunan-bangunan liar yang dari
segi estetikanya terlihat sangat kumuh.Sebab itu pemerintah harus dapat
mengendalikan tingkat pertambahan jumlah penduduk yang sangat cepat ini dengan
program-program yang tepat sasaran tetapi tidak melanggar HAM supaya masalah
permukiman liar dan kumuh tidak terjadi lagi khususnya di daerah ibukota DKI
Jakarta.