Peran
Keluarga Dalam Pembangunan Bangsa Indonesia
Pertentangan ideologi yang mewarnai peradaban manusia abad ke 20
pada intinya adalah berkutat pada bagaimana membuat suatu tatanan politik dunia
yang dapat mendatangkan kesejahteraan manusia. Banyak pakar mengatakan setelah
ambruknya sistem komunisme yang diawali oleh runtuhnya negara pelopor
komunisme, Uni Soviet, persaingan antar ideologi telah berakhir, dan beralih
kepada persaingan antar peradaban (Hutington).
Dalam iklim globalisasi, persaingan ekonomi antar negara adalah
persaingan antar negara yang menerapkan sistem pasar bebas (free market),
tetapi wacana yang berkembang adalah: sistem pasar bebas yang seperti apa?
Michael Porter (1990) mengatakan bahwa faktor budaya, nilai-nilai berlaku, dan
ciri khas watak masyarakat suatu negara sangat menentukan
keberhasilan
pembangunan ekonominya. Banyak sekali pakar internasional yang mengatakan
bahwa
kunci sukses keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh sejauh mana suatu
negara mempunyai budaya yang kondusif untuk bisa maju (contohnya Franke,
Hostede, dan Bond). Faktor budaya yang dicerminkan oleh karakter dan perilaku
masyarakatnya, sering disebut “modal sosial” (social capital) kemajuan
sebuah negara.
Konsep “modal sosial” ini pertama
kali diperkenalkan oleh Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtues, and the
Creation of Prosperity,1995), yang menguraikan ciri budaya sebuah masyarakat yang
mempunyai keunggulan dalam persaingan global. Dalam bukunya ini Fukuyama
menekankan persaingan yang ada dewasa ini bukan persaingan antar sistem
ideologi, tetapi persaingan antar negara bersistem pasar bebas yang mempunyai social
capital (modal sosial) tinggi (high trust society), dan negara yang
mempunyai modal sosial rendah (low trust society) yang tentunya
akan kalah dalam persaingan. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah
masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik
vertikal maupun horizontal), serta rendahnya tingkat konflik. Selanjutnya
dikatakan bahwa ini bisa terwujud kalau masing-masing individu menjunjung
tinggi kebersamaan, loyalitas, kejujuran, dan menjalankan kewajibannya.
Ciri khas karakter masyarakat yang menjadi faktor penentu
keberhasilan suatu negara juga diulas oleh Lester Thurow dalam Head To Head (1992) yang membandingkan
sistem
kapitalisme
Amerika dan Inggris, yang disebutnya individualistic capitalism, dengan
sistem kapitalisme Jepang dan Jerman (communitarian capitalism). Thurow
mengunggulkan sistem
communitarian
capitalism karena ciri karakter manusianya adalah self-denial, yaitu
hemat,
kerja
keras, kebersamaan tinggi, dan loyalitas, yang dianggap kondusif untuk
mempunyai daya saing.
Berbicara mengenai pentingnya faktor budaya yang mencerminkan
karakter moral
masyarakatnya, kita boleh bertanya, apakah bangsa Indonesia
mempunyai ciri khas karakter
yang
seperti diungkapkan di atas? Melihat kondisi Indonesia yang sedang mengalami
krisis
multi-dimensi
ini, banyak yang mengatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi Indonesia
adalah
masalah moral. Apabila ini tidak kita perhatikan dan dicarikan solusinya secara
cepat dan tepat, maka tampaknya sangat sulit bagi Indonesia untuk bangkit,
terutama mengingat era pasar bebas yang sudah semakin dekat.
Kalau kita berbicara
masalah karakter bangsa, maka ini akan menyentuh aspek pendidikan dan sosialisasi
individu sejak dilahirkan sampai dewasa. Institusi keluarga dan pranata sosial
yang ada (sekolah, agama, budaya) menjadi hal yang penting untuk diperhatikan
agar penanaman moral individu dapat terlaksana. Hal tersebut sesuai dengan yang
dikatakan Lord Channing bahwa “The great hope of society is individual
character” (Harapan besar masyarakat adalah kualitas akhlak setiap
individu).
Salah satu teori dalam ilmu sosiologi tentang pentingnya institusi
keluarga dalam menentukanmaju atau tidaknya sebuah bangsa, yaitu “family is the
fundamental unit of society” (keluarga adalah unit yang penting sekali dalam
masyarakat). Artinya kalau institusi keluarga sebagai fondasi lemah, maka
“bangunan” masyarakat juga akan lemah. Menurut teori tersebut, masalah-masalah
yang terdapat dalam masyarakat seperti kemiskinan, kekerasan yang merajalela,
dan segala macam kebobrokan sosial, adalah cerminan dari tidak kokohnya
institusikeluarga.
Pembangunan karakter berkaitan dengan pembentukan kepribadian
individu-individu sejak dini dari dalam keluarga, dan sekolah. Peran keluarga
dalam pendidikan, sosialisasi, dan penananam nilai kepada anak adalah sangat
besar. Keluarga kokoh adalah keluarga yang dapat memciptakan generasi-generasi
penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku
kehidupan masyarakat, dan akhirnya membawa kejayaan sebuah bangsa.
Peranan
Perempuan Dalam Pembangunan Bangsa
Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa “wanita adalah tiang
negara”. Hal ini mirip dengan teori sosiologi yang telah diungkapkan di muka
mengenai “keluarga adalah fondasi masyarakat”. Artinya di sini peran wanita
dalam keluarga sangat penting sekali. Karena proses pembentukan kepribadian
seorang anak sudah dimulai sejak awal kehidupan, bahkan sejak anak masih dalam
kandungan. Ada beberapa kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi seorang anak
agar dapat berkepribadian baik, dan ini semua sangat tergantung pada peran
perempuan sebagai ibu.
Pertama adalah kebutuhan akan “kelekatan psikologis” (maternal
bonding). Salah satu kebutuhan terpenting anak yang harus dipenuhi sejak
lahir adalah kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya. Kelekatan psikologis
ini penting untuk anak dapat membentuk kepercayaan kepada orang lain (trust),
merasa diri diperhatikan, dan menumbuhkan rasa aman. Menurut Morris, hubungan
yang erat dengan ibunya dalam tahun-tahun pertama kehidupan akan menanamkan
kapasitas besar untuk dapat mengadakan hubungan yang baik dengan orang lain
kelak ketika dewasa. Seorang ibu yang dapat menciptakan ikatan emosional yang
erat, dapat membentuk kepribadian anak menjadi baik.
Ada beberapa studi yang menunjukkan pengaruh kegagalan pembentukan
bonding terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak yang baik hubungan dengan
ibunya ketika bayi, akan dekat pula dengan ayah dan anggota keluarga lainnya,
dan selanjutnya anak akan berperilaku positif dan tidak agresif.
Kedua adalah kebutuhan rasa aman, dimana anak memerlukan
lingkungan yang stabil dan aman. Lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan
perkembangan emosi bayi. Begitu pula pengasuh yang berganti-ganti akan
berpengaruh negatif pula. Bowlby mengatakan adalah normal bagi seorang bayi
untuk mencari kontak dengan hanya satu orang (biasaya ibu) pada tahap-tahap
awal masa bayi.
Lingkungan yang tidak menyenangkan (penuh dengan stress) akan
mempengaruhi kepribadian anak. Hubungan yang tidak bak antara pengasuh dan anak
akan meningkatkan kebutuhan protein anak, dan cenderung menurunkan nafsu makan
anak, sehingga asupan makanan menjadi lebih sedikit, padahal anak memerlukan
makan yang lebih banyak ketika sedang stress. Sebaliknya lingkungan pengasuhan
yang menyenangkan akan meningkatkan aktifitas sisetem organ-organ yang sedang
berkembang, dan selanjutnya daya serap gizi akan lebih baik, sehingga proses
tumbuh kembang bisa mejadi optimal.
Ketiga adalah kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental. Hal ini
memerlukan perhatian yang besar dari orang tuanya dan reaksi timbal balik
antara ibu dan anaknya. Pakar pendidikan anak mengatakan bahwa seorang ibu yang
sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya,
mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) di usia di bawah 6 bulan,
akan mempengaruhi sikap bayinya menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplor
lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Kebutuhan dasar anak seperti yang diungkapkan diatas hanya dapat
dipenuhi oleh keluarga yang mempunyai nilai-nilai keluarga sakinah. Anak-anak
yang berada dalam keluarga seperti ini mendapatkan perlindungan, kasih sayang,
pendidikan moral dan disilin yang baik dari orang tuanya. Dan ini menuntut
peran dan komitmen besar dari orang tuanya, terutama ibunya.
Komitmen orang tua dalam pengasuhan anak sangat diperlukan karena
optimalisasi semua aspek tumbuh kembang individu pada tahun-tahun pertama
kehidupannya sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan orangtua. Salah
satu contoh yang bisa ditunjukkan adalah kaitan antara stimulasi yang diberikan
orang tua dengan perkembangan bahasa
dan perkembangan pemahaman dunia. Demikian juga dengan perkembangan disiplin
dan moral anak sehingga dapat membedakan konsep benar- salah, baik-buruk,
sopan-tidak sopan, pantas-tidak pantas, etis-tidak etis, dsb, ditentukan oleh sosialisasi yang diberikan orang tua
kepada anak sejak tahun-tahun pertama
kehidupannya. Konsep tersebut menjadi
landasan moral perilaku anak pada masa-masa selanjutnya. Perkembangan
kepribadian seorang individu juga telah
terbentuk dan sejak masa kanak-kanak awal.
Begitu konsep diri terbentuk, cenderung menetap dan sulit diubah.
Agar anak tumbuh dan berkembang
dengan optimal, dibutuhkan waktu, tenaga, pikiran, pengetahuan, kesabaran, dan
sikap yang konsisten dari pengasuh, dalam hal ini orang tua. Pada tahun-tahun
pertama kehidupannya, seorang anak membutuhkan orang yang selain berkualitas,
juga yang senantiasa siap membantunya kapanpun diperlukan. Waktu puncak tumbuh
kembang anak tidak dapat diatur mengikuti ketersediaan waktu orang dewasa. Dan
jika pada masa tersebut tidak mendapat rangsangan yang optimal, maka tumbuh
kembang anakpun tidak berlangsung dengan optimal. Oleh karenanya walaupun tanggung jawab
pengasuhan ada di tangan kedua orang tua, namun perlu ada komitmen berupa pembagian peran dan tugas antara Ibu dan
Bapak, siapa yang menyediakan waktu lebih banyak bagi pengasuhan anak.
Peran pengasuhan berkaitan dengan kualitas generasi penerus
bangsa. Peran tersebut sangat strategis
dan menentukan keberlangsungan dan kesinambungan suatu sistem sosial. Jika dibandingkan dengan peran-peran lainnya
dalam kehidupan, peran pengasuhan sama mulianya dengan peran suami dalam
mencari nafkah keluarga. Sayangnya dewasa ini berkembang arus pemikiran dan
gerakan yang memandang rendah peran pengasuhan yang dilakukan perempuan di
rumah (Peran domestik), hanya karena tidak dapat diukur dengan indikator
ekonomi. Mengingat erat kaitannya antara peran pengasuhan dengan pembangunan
kepribadian individu, atau dengan kata lain pembangunan karakter bangsa, maka
secara luas perlu diberikan dukungan dan
apresiasi bagi perempuan yang berkomitmen memilih peran sebagai ibu rumah
tangga pengasuh generasi penerus bangsa.
Opini : Jika membangun
bangsa Indonesia yang baik yang pertma harus membangun keluarga terlebih dahulu
dan dengan melahirkan generasi penerus yang baik. Keluarga itu menjadi faktor utama
inti dari terwujudnya atau suksesnya pembangunan bangsa Indonesia yang lebih
baik. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting sekali, dimana pembentukkan
karakter baik atau buruk setiap anak atau generasi penerus hampir sepenuhnya
mulai dari keluarga. Jadi janganlah menghancurkan nama baik keluarga yang sudah
terbentuk dalam kekeluargaan.
http://euissunarti.staff.ipb.ac.id/files/2012/03/Peran-Keluarga-dalam-Membangun-Bangsa-berkualitasratna-euis2.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar