KONSEP DEMOKRASI DAN BENTUKNYA DALAM
SISTEM PERPINDAHAN NEGARA.
Contoh Nya Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY)
adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur,
yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga
memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah
warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal
atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent
state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende
Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini
membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan
tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum
oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang
duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah
bukan lagi sebagai sebuah negara[1].
Periode I:
1945—1946
Sambutan
Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
Tanggal 18[2][3]
atau 19[4]
Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku
Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta
atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada
KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan
Penguasa Jepang Nampoo-Gun
Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya[2].
Pada 19
Agustus 1945 Yogyakarta
Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya
bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap
langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan
abadi[4].
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa
(19-08-1945)
Di Jakarta
pada 19
Agustus 1945
terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti[1].
Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum
diatur dengan rinci[5].
Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta
pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan
dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul
tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan
yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak
kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil
kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua
Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi
bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil
PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid
Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad
Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan
Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno
mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman[4].Piagam
tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para
penguasa monarki dikeluarkan[6].
Dekrit Resmi
Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945)
Pada tanggal
1
September 1945,
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak
keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga
dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai
terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri
Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah
mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi[2],
barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah
integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang
serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama[6].
Dekrit
integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan
oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu
ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang.
Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah
Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya
untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya
mendukung Indonesia.
Pemerintahan
dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
Wilayah DIY
(D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada
1945
Pada saat
berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi[4]:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang
wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi[4]:
- Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten
tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif.
Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati
Pamong Praja[6].
Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem
Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama
Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
Penyelenggaraan
Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
Dengan
memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat
dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII
mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan
Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta[4][6].
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai
persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100
tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh
masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain
itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan
juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua
KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta[6].
Seiring
dengan berjalannya waktu[2][6],
berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling
tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku)
sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah
(Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang
tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan
terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari
1946 dikeluarkan
Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam
satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut
dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan
17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan
(sebutan pemerintah desa saat itu).
Penyusunan RUU
Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk
merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan
sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal
1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID,
yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan
kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa.
Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh
Bab tersebut adalah[2]:
- Kedudukan Yogyakarta
- Kekuasaan Pemerintahan
- Kedudukan kedua raja
- Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
- Pemilihan Parlemen
- Keuangan
- Dewan Pertimbangan
- Perubahan
- Aturan Peralihan
- Aturan Tambahan
Periode II:1946
- 1950
Pembentukan DIY
oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
Wilayah DIY
dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946
Sambil
menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana
pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP
DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan
legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 )[2][6].
Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946[2].
Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan
oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya
yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah
disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut[6].
Dalam
maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan
menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah
Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk
DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten
Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku
Alaman)[6].
Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki[2][6]
yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13
dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari
sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1
tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan
Pertimbangan[2].
Penyelenggaraan
Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No.
18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah,
Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan
pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama
oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA
VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten)
sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah collegial
bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu
orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk
persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini
dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian
kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat
naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 ).
Maklumat ini
kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai
ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera
dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama
Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun
demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
Pemda Kota
Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY
dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun
1947
Pada 1947
Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota
Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab
sejak 5
Januari 1946
Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta
dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat.
Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX[6].
Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat
menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu
dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota
Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena
terjadi Agresi Militer Belanda I[2].
UU Pemerintahan
Daerah 1948 (1948-1949)
Pada tahun
1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU
No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan
dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum[7][8]
maupun penjelasannya[9][10].
Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk
membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember
1948 yang menghajar
Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan
Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai
protes kepada Belanda[2].
Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan
Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai
tahun 1950[2].
Periode III:
1950 – 1965
Landasan Hukum
Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah
pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang
baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946,
hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.
Pembentukan DIY
(1950)
Wilayah DIY
beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950
DIY secara
formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut
diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan
sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah
dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang
sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950
yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta
tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948
(lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta
adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi[11].
Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan
politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala
daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah
monarki konstitusional[12].
Pembentukan
Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY
beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951
Pembagian
DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua
undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut
undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota
Bantul), Sleman
(beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo
(beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates), dan Kota
Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto
yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota
Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua
daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU
mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya,
dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
Penyelenggaraan
Demokrasi di DIY (1950an)
Pemilu Lokal
(Tingkat Daerah) Pertama (1951)
Pada tahun 1951 Yogyakarta
menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan
untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu
dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors
yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi
DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi),
sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya[2].
Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP[2].
Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah
yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan
tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut,
Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA
VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung
kepada Presiden.
Pemisahan dan
Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)
Perubahan
yang cukup penting[12],
pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi
DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3
kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4
kabupaten 1 kota[12].
Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat
periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan
pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu
dikepalai oleh Pepatih Dalem)[2].
Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola
dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari
Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”.
Sehingga wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek
yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia[12].
Wilayah
Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin
birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas
kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina
lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa),
para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah
Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah
penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi[12].
Pada
dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena
sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi
Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA
VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton
dipimpin oleh GP Hangabehi[2].
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton
Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang
baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal.
Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem
berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem
tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Era Otonomi
Daerah Seluas-luasnya (1957-1965)
Implementasi
UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan
keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan
ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam
diktum[13][14]
maupun penjelasannya[15].
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan
pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)[16].
Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang
melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai 'metamorfosis' abdidalem
kepatihan yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan
Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai
oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja[2].
Penyatuan
Wilayah (1957-1958)
Wilayah DIY
beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi
kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede
(juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran)
dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang
bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah
enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (LN 1957 No. 5) yang kemudian
disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
Pasca Dekrit
Presiden (1959-1965)
Sambil
menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden
mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang
diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak
banyak berbeda[17].
Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis
kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV:
1965-1998
Pengaturan DIY
Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September
1965, sebulan
sebelum terjadi G30S/PKI,
Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam
UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi [18]
(sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di
atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara de
facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih
besar dihapuskan[19].
Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang
diakui oleh Pusat[20].
UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta
di kemudian hari [21].
Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya,
keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
Pengaturan DIY
Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973,
Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Otomatis beliau
tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari
dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta
diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah
Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur
secara khusus di aturan peralihan[22].
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan
daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah
Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa
pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode
I dan III di atas).
Sultan HB IX
kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa
setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan
yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan
kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus
sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950.
Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980[4].
Wafat Sultan HB
IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX
Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY
Sultan HB IX
hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono
IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara
1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara
1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku
Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku
Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat
Gubernur/Kepala Daerah Istimewa[23].
Pada saat
reformasi, tanggal 20
Mei 1998, sehari
sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden
Soeharto, Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan
sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk
mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk
melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan,
dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat
tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan
Agung[23].
Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang
sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama
(1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran
Paku Alaman terlama (1937-1998).
Periode V:
1998-2008
Pro Kontra
Suksesi Gubernur I (1998)
Meninggalnya
Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal
kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY,
Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini
sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang
hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat
oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah
suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003[23].
Karena
suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi
Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak
didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999
Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat
sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Pengaturan DIY
Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
Untuk
menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi
kepemimpinan di Provinsi DIY[24].
Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama
dengan provinsi-provinsi lainnya .[25].
Pada tahun
2000, MPR RI melakukan
perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas
dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus
dalam suatu undang-undang[26].
Pengusulan RUU
Keistimewaan (2002)
Pihak
Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk
menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002[27].
Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan
Prov NAD dan Prov Papua
dengan dikembalikan lagi ke daerah[27].
Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU
No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Aceh (LN
2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
Pro Kontra
Suksesi Gubernur II (2003)
Ketika masa
jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang
kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU
22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri
Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan
HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan
masa jabatan 2003-2008.
Pengaturan DIY
Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012])
Tahun 2004,
masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap
diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus[28][29][30]
seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan
Papua[31].
Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan,
seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah
provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi
menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD.
Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul
itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya[27].
Periode VI
(Peralihan): 2007 - sekarang (2012)
Pernyataan
Pengunduran Diri Sultan HB X
Prov. DIY
tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Di tengah
silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X
mengeluarkan pernyataan bersejarah[32]
lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya
tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya
selesai tahun 2008[33].
Pernyataan
Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi[34]
(rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut
kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di
atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan
keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem
monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso[34]
pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan
tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy
Suryo[35]
pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan
“sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap
keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto[36]
(Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari
sistem pemerintahan.
Warga Bantul[37]
siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan
Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin.
Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan
menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan[36].
Akhirnya
pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur
DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta[38]
Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY
Sebuah jajak
pendapat yang dilakukan oleh Kompas[38]
pada 13 April
2007 menunjukkan
74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton
Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang
oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%).
Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada
dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum
statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika
Gubernur DIY dipilih secara langsung[39].
Dalam sebuah
jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas[40]
pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat
mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006
keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang
menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat
kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan
ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar
ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan
bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai
gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot
menempati urutan empat (7,6%).
RUU
Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)
Untuk
mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan
Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan
DIY) untuk menjaring aspirasi[41].
Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL
UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di
depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007[42].
Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK[43].
Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo[44],
tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah
Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir
Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan
adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu
kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
Walaupun
Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan
kepada DPR[45],
namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di
Setneg dan Depkumham[46].
Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan
Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY[47].
RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008
dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke
Komisi II DPR untuk dibahas[46].
Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro
kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang
dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD
DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY
segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik
sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan
(RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat[48].
Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak
lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu
konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal)
Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar
Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008[49].
Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus)
Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil
dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam
Negeri pada 23 April 2008[50].
Secara
substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai
dirumuskan[51].
Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan
materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi
kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu
Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi
bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan.
Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi
masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat[52].
Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya
pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi
Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar
menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU
Keistimewaan DIY[53][54].
Akhirnya RUU
Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada
pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas[55].
Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik
Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI
sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada[56].
Beberapa
pemikiran rakyat
Substansi
istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
Substansi
istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik
antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan
Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan
HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri
Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat
30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan
pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO.
3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi
Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : Pertama,
Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa
(sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul
suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti
authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum
maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam
memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam
hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari
penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah
setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945,
5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati
yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang
menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan
ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang
bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan
oleh : Pertama, manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden
PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X
menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61
pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon
petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah
periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10);
Kedua, setiap produk undang - undang yang
mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU
No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul
suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18
& penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat
1 & 2);
Ketiga, pemahaman posisi serta substansi
bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum
dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman
(pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca
Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
Keempat, ketidak pahaman para penerus &
pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari
geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah
politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal
Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan
sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
Kelima, perpindahan orientasi politik atau
mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon
dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem &
hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemen UUD
1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan
perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan
langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada
manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke
IV Pancasila;
Keenam, proses demokratisasi di Daerah
Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika
politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai
mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub &
Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik
antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY
adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden),
sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan
tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota, bupati, lurah yang
dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemen UUD 45 & UU
No. 32/2004.
September
Oktober 2011
Masa jabatan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah diperpanjang selama tiga tahun
(2008-2011) kembali diperpanjang untuk kedua kalinya (2011-2012).
Opini: Sebagai seorang gurbernur walikota
harus nya memikirkan masyarakat nya yang kemiskinan atau kurang mampu jangan
hanya memikirkan diri sendiri atau memikirkan jabatan yang sudah tinggi saja
tapi pikirkan bagaimana cara nya masyarakat yang kurang mampu agar tidak
kesusahan? Tolong bantulah mereka...pokok nya jangan sampai masyarakat berdemokrasi
lagi di pinggir-pinggir jalan.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta#Penyelenggaraan_Demokrasi_di_DIY_.281950an.29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar